• Jelajahi

    Copyright © JELAJAH HUKUM

    Afiliasi MPTG

    Banner IDwebhost

    PENDIDIKAN

    Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Menurut UU Nomor 2 Tahun 2004 Tentang PPHI

    Selasa, 10/25/2022 05:50:00 PM WIB Last Updated 2022-10-25T10:50:35Z
    masukkan script iklan disini

    Foto: Efri Darlin Marto Dachi (CEO EDMD Partner Law Firm /Advokat)


    Jelajahhukum.id||Nusantara - Menurut UU Nomor Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Hubungan Industrial pada pasal 1 ayat (1), Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.


    Lalu bagaimana cara penyelesaian perselisihan hubungan industrial? Menurut Ketentuan UU PHI bahwa Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) wajib diupayakan penyelesaianya terlebih dahulu melalui Perundingan Bipartit yang dilaksanakan secara musyawarah antara Karyawan dengan Perusahaan.


    Penyelesaian Melalui Bipartit


    Apa itu Perundingan Bipartit? Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU PPHI yang berbunyi: “Perundingan Bipartit adalah perundingan antara pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial”. Penyelesaian melalui bipartit ini harus diselesaikan paling lama 30 hari sejak tanggal dimulainya perundingan. Jika dalam perundingan bipartit tercapai kesepakatan, maka dibuat perjanjian bersama yang ditandatangani oleh para pihak.


    Apabila Perjanjian Bersama tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah perjanjian bersama didaftarkan untuk mendapatkan penetapan eksekusi. Namun, apabila dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak sehingga tidak tercapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.


    Jika upaya Bipartit dianggap gagal, maka tahap selanjutnya adalah upaya Tripartit. Ketentuan mengenai Tripartit terdapat dalam UU PPHI yang menyebutkan mediasi sebagai upaya penyelesaian perselisihan dengan menghadirkan pihak pekerja, pengusaha dengan pemerintah sebagai pihak ketiga (Dinas Ketenagakerjaan setempat).


    Pihak ketiga ini merupakan seorang mediator atau pegawai instansi pemerintahan yang  mengeluarkan anjuran tertulis dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam waktu 10 hari sejak mediasi pertama.


    Apabila mediasi berhasil, maka hasil kesepakatan akan dituangkan dalam Perjanjian Bersama yang kemudian ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan oleh mediator. Selanjutnya Perjanjian Bersama didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial di wilayah hukum para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk mendapatkan Akta Bukti Pendaftaran. Akan tetapi, apabila tidak tercapai kesepakatan, maka mediator akan menuangkan hasil mediasi ke dalam anjuran tertulis dalam bentuk Risalah Penyelesaian melalui Mediasi. Anjuran tertulis tersebut berisi pendapat atau saran tertulis yang diusulkan oleh mediator kepada para pihak dalam upaya menyelesaikan perselisihan.


    Dalam hal upaya Tripartit tidak tercapai kesepakatan, pekerja dapat melakukan upaya hukum dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Pada dasarnya, jenis permasalahan dalam Perselisihan Hubungan Industrial (PHI) antara lain:


    Perselisihan hak;

    Perselisihan kepentingan;

    Perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan

    Perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.


    Perselisihan Hubungan Industrial yang sering terjadi adalah terkait Perselisihan Hak? Dalam Pasal 1 ayat (2) UU PPHI, memberikan definisi perselisihan hak yang berbunyi:

    “Perselisihan Hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama”.


    Penjelasan Pasal 2 huruf a UU PPHI juga menegaskan mengenai perselisihan hak yang menyatakan:

    “Perselisihan hak adalah perselisihan mengenai hak normatif, yang sudah ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja sama, atau peraturan perundang-undangan”.


    Pekerja dapat melanjutkan untuk mengajukan gugatan perselisihan hak berupa upah pekerja yang tidak dibayarkan oleh Perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.


    Syarat Pendaftaran Gugatan PHI di Pengadilan Hubungan Industrial yaitu:


    Untuk perkara dengan nilai gugatan dibawah Rp. 150.000.000 ( seratus lima puluh juta rupiah) tidak dipungut biaya pekara;

    Surat gugatan dibuat dalam bentuk tertulis dengan dibubuhi materai yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri Setempat minimal dibuat 5 (lima) rangkap untuk satu orang tergugat dan apabila pihak Tergugatg lebih dari satu maka jumlah gugatan ditambah sesuai dengan jumlah penambahan pihak Tergugat;

    Menyerahkan Soft Copy gugatan dalam bentuk Compact Disk atau Flash Disk;

    Bagi penggugat yang tidak dapat membaca dan menulis dapat mendatangi advokat piket pada pos bantuan hukum (posbakum) Pengadilan yang akan membantu Penggugat untuk menyusun surat gugatan;

    Surat kuasa khusus yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Hukum dari penggugat bila penggugat menguasakan kepada kuasa hukum, sebanyak 8 (delapan) rangkap;

    Foto copy kartu Advokat dari kuasa hukum penggugat;

    Berita acara sumpah dari kuasa penggugat;

    Bila tidak dikuasai oleh kuasa hukum maka harus dilampirkan foto copy KTP penggugat yang dibuat rangkap 8 delapan);

    Apabila diwakili oleh kuasa dari serikat pekerja/ serikat buruh maka harus melampirkan kartu angggota kepengurusan serikat pekerja/serikat buruh dan pencatatan dai disnaker;

    Melampirkan surat anjuran dari disnaker yang dibuat rangkap 8 (delapan);


    Dasar Hukum:


    Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

    Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;

    Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja;

    Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 17 Tahun 2014 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Mediator Hubungan Industrial Serta Tata Kerja Mediasi.

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 68/PUU-XIII/2015


    Sumber: Efri Darlin Marto Dachi (CEO EDMD Partner Law Firm /Advokat)


    Komentar

    Tampilkan

    Terkini