Jelajahhukum.id||Jambi - Konflik dan permasalahan satu keluarga dipecat dari salah satu Gereja di kota Jambi dianggap publik sebagai kecerobohan, ketidak hati - hatian dan kesewenang-wenangan. Anak anak menjadi korban penyiksaan iman dan terancam perkembangan psikologi sosial. Anak-anak tidak mendapat pendidikan rohani dengan baik. Hal inilah yang dapat dirangkum Media ini saat mengunjungi anak-anak korban pemecatan Gereja, pada Selasa (03/05/2022).
"Begitulah akibat kecerobohan yang tidak didasari kehati - hatian dalam mengambil keputusan. Anak anak ikut korban dan dipecat tanpa ada salah yang pernah diduga dan diketahui. Gereja dengan Keputusan istimewa Pendeta 18 Juni 2021 memecat M br R beserta keluarganya dari keanggotaan Gereja," jelas H Situmorang SR yang menelusuri permasahan pemecatan satu keluarga dari Gereja.
M br R sebelumnya menjadi bendahara pembangunan di Gereja itu dituduh diduga menggelapkan dana sebesar Rp 20 juta. Dan selalu berperan aktif terhadap kegiatan gereja bersama keluarganya. Namun karena M Br R di tuduh diduga menggelapkan dana. Tuduhan penggelapan, berdasarkan hasil audit yang dilakukan khusus untuk Bendahara. Awalnya M br R diberhentikan dari pemain musik orgen. diberhentikan dari bendahara, selanjutnya dipecat satu keluarga dari Gereja.
Pengumuman pemecatan satu keluarga dari Gereja diumumkan secara resmi di Gereja tersebut pada 20 Juni 2021 dan Media massa. Anak-anak M br R ikut di pecat merasakan tekanan psikologis luar biasa. Ini merupakan keputusan yang tragis, orang tak tahu (anak-anak M br R) tidak bersalah jadi korban.
Tanpa ada berbuat sesuatu, nota bene dalam setiap kesimpulan dan surat keputusan yang kurang simpatik itu membuat anak-anak jadi korban. Melihat isi putusan Rapat Gereja secara sepihak, nampak dari logat dan gaya tulisan itu, dan menjadi tanda tanya dan berbagai penafsiran.
Menjadi tanda tanya dan penafsiran kenapa dan ada apa, dengan anak anak M br R ? Pasalnya anak anak itu, anak korban pemecatan bersama orang tuanya M br R di salah satu Gereja. Sehingga anak terancam untuk perkembangan pendidikan dan psikologi sosial anak. Yang cukup berbahaya, karena cita-cita anak-anak korban ingin dan berhak menikmati pendidikan rohaninya (dari sekte HKBP).
Melihat ada keputusan-keputusan dan perbuatan mereka yang berkonflik. Memaksa anak untuk pindah keyakinan sekte lain. Anak harus pindah keyakinan, padahal selama ini sejak di rahim ibunya sudah di dogma HKBP yang diyakininya .
"Karena keputusan gereja dan perbuatan- perbuatan yang berkonflik memaksa kami pindah sekte, pindah keyakinan. Padahal sejak dari rahim ibunya sudah di dogma HKBP. Surat baptisan dan naik sidi di HKBP ini menjadi bingung jikalau dipaksa pindah," ujar korban di rumahnya K Hutapea ( A Samuel ) pada Selasa 03 Mei 2022.
"Penyiksaan iman kami rasakan, saya tidak bisa ku hapus, ku lupakan dogma keyakinanku di gereja HKBP. Kakek - Nenek sendiri pun sudah ratusan tahun jadi pemeluk HKBP. Ini surat baptisan kami, tandasnya lagi. Bagaimana saya, atau kami harus di suruh pindah ke gereja lain?
"Jika harus dipaksa pindah, Surat baptis HKBP dan Surat Sidi HKBP akan tidak berlaku lagi ? Ini juga foto naik sidi HKBP (lihat Foto Bersama Pendeta kami). Saat ini, iman saya tersiksa, tersiksa betul dan malu ditengah-tengah masyarakat luas kalangan remaja. Merasakan tertekan psikoligis muda mudi Gereja," jelas anak itu penuh kecewa.
Akhirnya, lanjut anak itu, saya dan kakak-kakak ku, menuntut pengaduan pada pihak Komnasham, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Komnasham Perempuan dan Anak di Jakarta dan tembusan nya. Terpaksa kami anak-anak sesuai hak Hukum selaku warga negara RI, kami juga ada hak, sekalipun sebagai anak. Kami keberatan dan menuntut, sebahagian anggota majelis dan Pendeta serta Orangtua kami K Hutapea, M br R.
"Kami anak-anak merasa tertekan psikologis dan penyiksaan iman. Awalnya orangtua, dipecat dari pemain musik organ, Kemudian orang tua kami M br R dipecat dari bendahara pembangunan dituduh gelapkan uang Rp 20 juta, atas laporan ketua audit Lipan Pasaribu, SH dan cuman ibu kami yang di audit. Memang saya atau kami takut akan Hukum dan senang penegakan Hukum sekalipun kami awam hukum dan tidak mencampuri urusan di Gereja atas jabatan orang tua," ungkap anak korban pemecatan itu.
Disambungnya, Tidak mencampuri urusan jabatan orang tua di Gereja. Tapi selaku orang tua dalam hubungan hukum, kami adukan ke tiga-tiganya. Pikiran kami kacau ikut dipecat, menjadi Korban psikis, berbahaya dalam perkembangan jiwa, dalam sosial dan sekolah.
"Karena sudah jadi pembahasan publik dan kami bingung pendidikan rohani mau kemana," ujarnya dengan sedih.
Anak korban memperlihatkan foto sakral, "lihat foto kami sewaktu di sidi digereja, kan ini tidak berlaku lagi kah? Urusan sekolah pun terasa ada kesulitan dan rasa malu dan traumatic berbahaya perkembangan sosiologis saya.
"Belajar agama bagaimana," ujarnya mengakhiri keluhannya.
Tidak sampai disitu, Salah satu orang tua yang enggan disebut namanya mendengar cerita itu dan menanggapi, Sudah satu tahun masalah ini tidak seorang pun yang dapat membantu penyelesaian kasus yang sepele ini. Baru-baru ini pernah orang tua atau tokoh marga Situmorang dan Hutapea mencoba menjembatani masalah ini ke pihak Gereja.
"Namun tidak berhasil, hampa dan nihil sama sekali, alias di tolak Praeses HKBP di kota Jambi," pungkas warga yang enggan menyebutkan identitasnya.
(HR)